Karanggeneng – Dunia jurnalistik tidak melulu soal berita keras atau peliputan peristiwa. Di balik ketajaman pena dalam mengabarkan fakta, terdapat sisi lain yang lembut namun menghunjam, yakni puisi. Hal inilah yang dibuktikan oleh anggota Organisasi Jurnalistik SMK NU 1 Karanggeneng.
Di bawah bimbingan pembina mereka, Ahmad Ja'farul Musadad, M.Hum, para siswa ini diajak untuk menyelami kedalaman hati dan menuangkannya ke dalam bait-bait sajak. Kegiatan ini bukan sekadar latihan menulis, melainkan sebuah proses kontemplasi untuk menemukan suara hati yang paling jujur.
Jendela Kecil Menuju Dunia Luas
Bagi para anggota jurnalistik SMK NU 1 Karanggeneng, puisi memiliki definisi yang unik. Mereka menarasikan bahwa "Puisi merupakan sebuah jendela kecil yang membuka ke arah dunia yang luas."
Filosofi ini menjadi pondasi karya mereka. Meskipun puisi seringkali hanya terdiri dari beberapa bait yang ringkas, ia mampu mengungkapkan perasaan yang jauh lebih mendalam dibandingkan surat yang panjang.
"Pada intinya, puisi adalah cara kita berkomunikasi dengan hati tanpa harus bertele-tele, hanya dengan kata-kata yang tepat untuk menyentuh jiwa," demikian narasi kolektif yang mereka yakini.
Ada spektrum emosi yang luas dalam karya mereka: mulai dari keceriaan layaknya lagu anak-anak, kedalaman misteri bintang malam, hingga hal-hal sehari-hari yang tak terduga.
Antologi Rasa: Tiga Karya Pilihan
Berikut adalah apresiasi terhadap tiga puisi terpilih karya anggota jurnalistik yang berhasil menangkap nuansa rindu, kenangan, dan kesunyian dengan sangat apik.
1. Keabadian dalam Nestapa
Karya pertama datang dari Nurma Indana Zulfa. Dalam puisinya yang berjudul "Bingkal Usang", Nurma mengeksplorasi tema kehilangan dan cinta yang melampaui batas fisik. Diksi "renjana" dan "atma" memperkuat nuansa klasik dan kesedihan yang elegan.
Bingkal Usang
Di antara kekal dan nestapa
Abadilah engkau di dalam lubuk kalbu
Ku tabur harapku pada tempat keabadian
Sedikit caraku mengobati renjana
Di antara aku dan kamu....
Buana yang tak lagi sama
Sungguh! Renjana kian menyiksaku
Di tempat ini...
Mustahil untuk abadi
Atma yang perlahan usai
Terkikis oleh waktu
Terjebak dalam ruang tak berwujud
Setangkai bunga ku persembahkan
Hanya untukmu, Tuan....
Di balik sajak, di setiap makna
Tenggelam dalam bayangmu
Aku berpijak di buana
Kau terkatung di antara batas dan nisan
Akan kah kita dapat berjumpa?
Cintaku kian melebur dengan tanah
Tak apa mati! Asal bersamamu sekali lagi.
(Karya: Nurma Indana Zulfa)
2. Keabadian Lewat Tulisan
Selanjutnya, Naura Syauqiyah menghadirkan "Sajak Cerita di Atas Kertas". Puisi ini adalah sebuah metafora tentang kekuatan tulisan (jurnalistik dan sastra) dalam mengabadikan kenangan. Naura menegaskan bahwa meskipun kertas bisa rusak, kisah yang tertulis akan tetap hidup dalam ingatan.
Sajak Cerita di Atas Kertas
Goresan tinta mengalir
Di atas kertas putih ku menggulung cerita
Cerita teruntai di tiap kata
Rahasia tersusun rapi di tiap baris
Menyulam kenangan bermakna abadi
Walau kertas terkoyak, tinta berputar
Cerita ini tetap hidup di ruang ingatan
Mengalir dalam nafas, menyatu dengan perasaan
Takkan hilang meski waktu mencoba menghapus
Karena kisah ini menjelma menjadi bagian dari kehidupanku.
(Karya: Naura Syauqiyah)
3. Dialog dengan Kesunyian
Karya terakhir yang tak kalah menyentuh adalah "Sunyi yang Menelan Namaku" oleh Callysta A Mabel B. Puisi ini membawa pembaca pada suasana introspektif yang gelap namun indah. Callysta menggambarkan perasaan tersesat dan luka batin dengan citraan "langit yang tak lagi mengingat nama".
Sunyi yang Menelan Namaku
Aku tersesat dalam sunyi
Saat langit tak lagi mengingat namaku
Relungku dipaksa membeku
Menahan luka tanpa pernah sembuh
Di antara retak yang menahanku
Kutinggalkan dia yang tak lagi kumengerti
Derai air mata mengalir pelan di nadiku
Mengukir perih di relung diri.
(Karya: Callysta A Mabel B)
Karya-karya ini membuktikan bahwa siswa SMK NU 1 Karanggeneng tidak hanya terampil dalam kejuruan teknis, tetapi juga memiliki kepekaan rasa yang tinggi. Di tangan mereka, kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan jiwa yang menghubungkan penulis dengan pembacanya.
Semoga semangat berkarya ini terus menyala, menjadi inspirasi bagi siswa lainnya untuk berani mengungkapkan isi hati melalui tulisan.